DARI DESA — Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) mengeluarkan peringatan keras terkait meningkatnya risiko korupsi dalam penyaluran dana desa tahun anggaran 2025 yang totalnya mencapai Rp146,98 triliun. Laporan evaluasi semester pertama ISEI menyoroti lemahnya pengawasan dan akuntabilitas yang masih menjadi persoalan kronis di banyak wilayah.
Ketua Umum ISEI, Perry Warjiyo, menekankan bahwa dana desa—yang sejatinya menjadi instrumen strategis pengentasan kemiskinan dan pembangunan inklusif—justru rawan menjadi “ladang basah” bagi oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Tanpa pengawasan ketat, dana desa bisa berubah dari peluang menjadi bencana fiskal. Peran aktif masyarakat dan transparansi adalah kunci pengaman,” tegas Perry dalam Konferensi Nasional ISEI di Jakarta.
Tren Kasus Korupsi Terus Meningkat Sejak 2016
ISEI mencatat lonjakan penyalahgunaan dana desa sejak program ini digulirkan. Tahun 2022 mencatat rekor tertinggi dengan 381 kasus, sebagian besar menyeret kepala desa dan aparatnya.
Modus yang paling sering terjadi meliputi:
- Proyek fiktif
- Pengadaan barang tak sesuai spek
- Pemotongan anggaran
- Manipulasi data penerima bantuan
“Ini bukan soal nominal semata. Ini menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap aparatur desa dan integritas pemerintahan lokal,” ujar Indah Pratiwi, peneliti senior ISEI.
Pengawasan Masih Lemah, Siskeudes Belum Maksimal
ISEI juga menyoroti lemahnya pengawasan internal desa. Lembaga seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dinilai belum memiliki kapasitas kuat untuk mengontrol jalannya pemerintahan desa. Selain itu, keterbatasan tenaga auditor di tingkat kabupaten membuat pengawasan menjadi sporadis.
Banyak desa juga belum memanfaatkan teknologi pelaporan seperti Siskeudes secara optimal. Ini membuka ruang bagi manipulasi laporan dan pengaburan data anggaran.
Solusi: Teknologi, Transparansi, dan Keterlibatan Warga
ISEI merekomendasikan tiga langkah utama:
- Digitalisasi penuh sistem keuangan desa, termasuk kewajiban real-time upload laporan keuangan.
- Insentif untuk desa yang transparan dan akuntabel, serta sanksi bagi desa yang melanggar.
- Peningkatan partisipasi warga, melalui kanal pengaduan dan forum musyawarah desa.
“Desa yang sehat lahir dari warga yang peduli. Jika masyarakat diam, maka ruang untuk korupsi akan semakin lebar,” tutup Perry.
Dana desa bukan hanya angka dalam APBN, tapi nyawa dari pembangunan di akar rumput. Ketika triliunan rupiah dipertaruhkan, maka teknologi dan pengawasan warga harus jadi benteng utama. ISEI telah menyalakan alarm, kini saatnya seluruh pemangku kepentingan mendengar dan bertindak.***